POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENGEMBANGKAN PERILAKU SOSIAL ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK

Friday 13 September 2013

POLA ASUH ORANGTUA DALAM MENGEMBANGKAN PERILAKU SOSIAL ANAK DI TAMAN KANAK-KANAK


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam proses tumbuh kembang menjadi manusia, anak mulai dibentuk kepribadiannya oleh keluarganya. Pembentukan kepribadian anak diperoleh melalui proses sosialisasi di dalam keluarga yang berlangsung dalam bentuk interaksi antara anggota keluarga. Pemberian perlakuan oleh orangtua kepada anaknya menekankan pada bagaimana mengasuh anak dengan baik. Pada umumnya perlakuan orang tua di
dalam mengasuh anak-anaknya diwuudkan dalam bentuk merawat, mengajar, membimbing, dan kadang-kadang bermain dengan anak.
Orangtua sangat berpengaruh terhadap pendidikan anak, sebab orangtua merupakan guru pertama dan utama bagi anak. Pendidikan yang diberikan oleh orangtua dalam keluarga merupakan pendidikan pertama yang diterima anak, sekaligus sebagai pondasi bagi pengembangan pribadi anak selanjutnya. Orangtua yang mampu menyadari akan peran dan fungsinya yang demikian strategis, akan mampu menempatkan diri secara lebih baik dan menerapkan pola asuh dan pola pendidikan secara lebih tepat.
Orangtua adalah kunci utama keberhasilan anak. Orangtualah yang pertama kali dipahami anak sebagai orang yang memiliki kemampuan luar biasa di luar dirinya dan dari orangtuanyalah anak pertama kali mengenal dunia. Melalui orangtua, anak mengembangkan seluruh aspek pribadinya. Dalam hal ini, konsep orangtua bukan hanya orang tua yang melahirkan anak, melainkan orangtua yang mengasuh, melindungi dan memberikan kasih sayang kepada anak.
Memahami betapa pentingnya peran orangtua bagi pendidikan dan pengembangan anak serta betapa besar tanggung jawab orangtua terhadap pengembangan diri anak baik di rumah maupun di sekolah, maka belajar bagi orangtua mutlak diperlukan. Dengan terus belajar orangtua akan mampu melaksanakan tugas dan fungsinya dengan lebih baik. Selain itu orangtua juga akan mampu memerankan diri sebagai orangtua yang lebih bijaksana di mata anak-anaknya.
Menurut Rahman (2002:100-101) peran orangtua bagi pengembangan anak secara lebih rinci dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Memelihara kesehatan fisik dan mental anak. Fisik yang sehat akan memberikan peluang yang lebih besar bagi kesehatan mental. 2) Meletakkkan dasar kepribadian yang baik. Strruktur kepribadian anak dibangun dan dibentuk sejak usia dini. 3) Membimbing dan memotivasi anak untuk mengembangkan diri. Anak akan berkembang melalui prosese dalam lingkungannya. Lingkungan pertama bagi anak adalah keluarga. 4) Memberikan fasilitas yang memadai bagi pengembangan diri anak. 5) Menciptakan suasana yang aman, nyaman dan kondusif bagi pengembangan diri anak.

Salah satu aspek pengembangan pada diri anak yang perlu melibatkan bimbingan orang tua adalah pengembangan perilaku sosial. Sebagian besar orang tua  menyadari adanya hubungan yang erat antara perilaku sosial anak dengan keberhasilan dan kebahagiaan pada masa kanak-kanak dan pada masa kehidupan selanjutnya. Untuk menjamin bahwa anak dapat melakukan penyesuaian dengan baik, orangtua memberikan kesempatan kepada anak untuk menjalin kontak sosial dengan anak yang lain, dan berusaha memotivasi anak agar aktif secara sosial.
Perilaku sosial  anak perlu dikembangkan karena dua alasan. Pertama, pola perilaku dan sikap yang dibentuk pada masa awal anak cenderung menetap. Kedua, jenis perilaku sosial yang dilakukan anak meninggalkan ciri pada konsep diri mereka.
Orangtua menaruh perhatian terhadap perilaku sosial anak karena anak yang diterima dengan baik mempunyai kemungkinan yang jauh lebih besar untuk mengerjakan sesuatu sesuai dengan kemampuannya dibandingkan dengan anak yang ditolak atau diabaikan oleh teman sebanyanya.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang  yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi rumusan masalah adalah:
1.      Bagaimana gambaran pola asuh orangtua anak di Taman Kanak-kanak ?
2.      Bagaimana gambaran perilaku sosial anak di Taman Kanak-kanak ?
C.  Tujuan Penulisan
Sesuai dengan fokus masalah yang diajukan maka tujuan penelitian ini adalah:
1.      Untuk mengetahui gambaran pola asuh orangtua anak di Taman Kanak-kanak.
2.      Untuk mengetahui gambaran prilaku sisoal anak di Taman Kanak-kanak


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pola Asuh Orangtua
Pola asuh orangtua adalah cara orangtua mengasuh anak-anaknya yang antara lain diwujudkan dalam bentuk pendisiplinan, pemberian teladan, ganjaran dan hukuman. Menurut Prasetya (2003:28), ada empat pola pengasuhan yang biasa diterapkan orang tua dalam mengasuh anak-anaknya, yaitu “1) pola pengasuhan autoritatif, 2) pola pengasuhan otoriter, 3) pola pengasuhan penyabar, dan 4) pola pengasuhan penelantar.”
Pola pengasuhan autoritatif adalah pola pengasuhan yang diterapkan oleh orangtua yang menerima kehadiran anak dengan sepenuh hati serta memiliki pandangan atau wawasan kehidupan masa depan dengan jelas. pada pola pengasuhan ini, orangtua lebih memprioritaskan kepentingan anak dibandingkan dengan kepentingan dirinya. Tetapi mereka tidak ragu-ragu mengendalikan anak. Orangtua berani menegur anak bila anak berperilaku bukuk. Orangtua mengarfahkan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan anak agara anak memiliki sikap, pengetahuan, dan keterampila-keterampilan yang akan mendasari anak untuk mengarungi hidup dan kehidupan di masa mendatang.
Pola pengasuhan otoriter kebanyakan diterapkan oleh orangtua yang berasal dari pola pengasuhan otoriter pula di masa kanak-kanaknya, atau oleh orangtua yang sebenarnya menolak kehadiran anak. Orangtua yang menerapkan pola asuh otoriter cenderung tidak memikirkan apa yang akan terjadi di masa akan datang fokusnya lebih kepada masa kini. Orangtua menilai dan menuntut anak untuk mematuhi standar mutlak yang ditentukan sepihak oleh orangtua, memutlakkan kepatuhan dan rasa hormat atau sopan santun. Orangtua merasa tidak pernah berbuat salah.
Orangtua tidak menyadari bahwa dikemudian hari anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter mungkin akan menimbulkan masalah yang lebih rumit, memusingkan dan terkadang menyedot energi yang luar biasa besarnya. Meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan otaoriter ini memiliki kompetensi dan tanggung jawab yang cukup, namun kebanyakan cenderung menarik diri secara sosial, kurang spontan dan tampak kurang percaya diri.
Pola pengasuhan penyabar atau pemanja kebalikan dari pola pengasuhan otoriter. Segala sesuatu justru berpusat pada kepentingan anak. Orangtua tidak mengendalikan perilaku anak sesuai dengan kebutuhan perkembangan kepribadian anak. Orangtua tidak pernah menegur atau tidak berani menegur perilaku anak, meskipun perilaku tersebut sudah keterlaluan atau diluar batas kewajaran. Dalam kondisi yang demikian terkadang terkesan jangan sampai mengecewakan anak atau yang penting anak jangan sampai menangis. Meskipun anak-anak dengan pola pengasuhan ini cenderung lebih energik dan responsive diandingkan anak-anak dengan pola pengasuhan otoriter, namun mereka tampak kurang matang secara sosail (manja), impulsive, memetingkan diri sendiri, dan kurang percaya diri.
Orangtua dengan pola pengasuhan penelantar kurang atau bahkan sama sekali tidak mempedulikan perkembangan psikis anak. Anak dibiarkan berkembang sendiri. Pola pengasuhan ini pada umumnya diterapkan oleh orangtua yang sebenarnya menolak kehadiran anak dengan berbagai alasan. Terkadang tidak disadarinya atau tidak diakuinya secara jujur. Saelanjutnya tidak terjadi perubahan sikap ketika anknya lahir.
Pola pengasuhan penelantar, orangtua lebih memprioritaskan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anak. Kepentingan perkembangan kepribadian anak terabaikan. Banyak orangtua yang terlalu sibuk dengan kegiatannya sendiri dengan berbagai macam alasan pembenaran. Tidak jarang di antara mereka yang tidak peduli atau tidak tahu di mana anaknya berada, dengan siapa saja mereka bergaul, sedang apa anak tersebut dan sebagainya.
Menurut Goodman dan Gurian (Suhendi, 2004:49) pola asuh terbagi atas : “1) pola asuh otoriter yaitu pola asuh yang menerapkan pengawasan yang ketat dan hukuman. 2) pola autoritatif yaitu pola asuh yang menerapkan kehangatan dan komunikasi yang baik  dengan anak. 3) pola asuh permisif yaitu pola asuh yang tidak memperdulikan pengembangan kreatifitas anak.”

Pola asuh autoritatif dapat menghasilkan anak yang bahagia, percaya diri, dan kemampuan emosi serta sosial yang berkembang dengan baik. Selanjutnya poala asuh otoriter menghasilkan anak yang tidak bahagia, tidak percaya diri, menarik diri dari pergaulan dan cepat putus asa. Sementara anak dengan latar belakang pola asuh permisif mempunyai tingkah laku yang   sosial, dan emosi yang kurang berkembang.
B.     Perilaku Sosial
a.      Pengertian Perilaku Sosial
Perilaku sosial merupakan salah satu aspek yang sangat penting untuk dikembangkan karena sangat mempengaruhi proses tumbuh kembang anak khususnya anak usia taman kanak-kanak. Pengembangan perilaku sosial pada anak usai taman kanak-kanak merupakan salah satu aspek yang sangat mendukung perkembangan anak khususnya perkembangan sosial.
Menurut Hurlock (1978:287) “perilaku sosial adalah keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya.” Sedangkan menurut Ahmadi (2001:166) “perilaku yang menunjukkan atau memperlihatkan, menerima mengakui, menyetujui serta melaksanakan norma-norma yang berlaku dimana individu berada.” Orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan secara diplomatis dengan orang lain, baik teman maupun orang yang tidak dikenal, sehingga sikap orang lain terhadap mereka  atau anak didik sangat menyenangkan. Biasanya orang yang berhasil melakukan perilaku sosial dengan baik mengembangkan sikap sosial yang menyenangkan, seperti kesediaan untuk membantu orang lain, meskipun mereka sendiri mengalami kesulitan.
Individu dengan perilaku sosial adalah individu yang perilakunya mencerminkan tiga proses sosialisasi, sehingga mereka cocok dengan kelompok teman mereka menggabungkan diri dan diterima sebagai anggota kelompok. Adapun tiga proses sosialisasi menurut Hurlock (1978: 250) yaitu “belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, memainkan peran sosial yang dapat diterima dan perkembangan sikap sosial.”
Belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial terkait dengan standar dari setiap kelompok sosial tentang perilaku yang dapat diterima. Untuk dapat bermasyarakat anak tidak hanya harus mengetahui perilaku yang dapat diterima, tetapi mereka juga harus menyesuaikan perilaku dengan patokan yang dapat diterima.
Memainkan peran sosial yang dapat diterima, dimana pola kebiasaan setiap kelompok sosial yang telah ditentukan harus juga dapat dipatuhi oleh para anggotanya. Sedangkan perkembangan sikap sosial, berarti anak yang bergaul harus menyukai orang dan aktivitas sosial yang ada di kelompok tersebut, sehingga mereka dapat berhasil dalam penyesuaian sosial dan dapat diterima sebagai anggota kelompok tempat mereka menggabungkan diri.
Menurut Ratri (2008) untuk menentukan sejauh mana penyesuaian diri anak secara sosial dapat diterapkan empat kriteria, yaitu 1) penampilan nyata, 2) penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok, 3) sikap sosial,  dan 4) kepuasan pribadi.
Bila perilaku sosial anak, seperti yang dinilai berdasarkan standar kelompoknya, memenuhi harapan kelompok, maka akan menjadi anggota yang akan diterima kelompok. Anak yang menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. Anak harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, dan terhadap perannya dalam kelompok sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial.
Untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik secara sosial anak harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkannya dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota
b.      Bentuk-bentuk Perilaku Sosial
Perilaku sosial seperti halnya aspek perkembangan lainnya juga mempunyai bentuk-bentuk yang membedakannya dengan fase-fase perkembangan yang lain. Menurut Hurlock (1978:262) beberapa bentuk perilaku sosial yang Nampak apada anak usia taman kanak-kanak, yaitu:
1) Kerja sama, 2) persaingan, 3) kemurahan hati, 4) hasrat akan penerimaan sosial, 5) simpati, 6) Empati, 7) ketergantungan, 8) sikap ramah, 9) sikap tidak mementingkan diri sendiri, 10) meniru, 11) perilaku kelekatan (attachment behavior).
Kerja sama diperlajari oleh sebagian anak sampai berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang diperoleh anak untuk melakukan sesuatu secara bersama-sama semakin cepat anak belajar melakukannya dengan cara bekerjasama.
Persaingan pada anak dapat menimbulkan dampak positif dan negative. Dampak positif persaingan bagi anak dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih baik, misalnya anak yang berprestasi baik seperti temannya, akan berusaha lebih keras agar dapat meraih hal tersebut. Sedangkan dampak negatifnya yaitu apabila persaingan diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan sosialisasi yang buruk pada anak.
Kemurahan hati sebagaimana yang terlihat pada kesediaan untuk berbagi dengan anak lain meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.
Hasrat akan penerimaan sosial, apabila hasrat untuk diterima kuat, hal itu mendorong anak untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial. Hasrat untuk diterima oleh orang dewasa biasanya timbul lebih awal dibandingkan dengan hasrat untuk diterima oleh teman sebaya. Ada beberapa factor yang dapat meningkatkan penerimaan sosial yaitu adanya aspirasi yang realistis, wawasan diri dan wawasan sosial serta konsep diri yang stabil.
Simpati dapat berperilaku simpati apabila anak mengalami situasi yang mirip dengan duka cita. Anak mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih.
Empati merupakan kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang apabila anak dapat memahami ekspresi wajah maksud pembicaraan orang lain.
Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian dan kasih sayang untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial sedangkan anak yang berjiwa bebas kekurangan motivasi ini.
Anak memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan sesuatu untuk bersama anak lain dengan mengekspresikan kasih sayang kepada mereka.
Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang dimiliki dan tidak terus menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan bukannya hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik sendiri.
Dengan meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok terhadap diri mereka. Dorongan meniru sedemikian kuatnya sehingga banyak hal yang dipelajari. Anak memperolehnya dengan jalan meniru perbuatan dan kebiasaan orang dewasa.
Perilaku kelekatan pada dasarnya bermula pada masa bayi, yaitu tatkala bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih kepada ibu atau pengganti ibu, anak mengalihkan pola perilaku itu kepada anak atau orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka.
Bentuk perilaku sosial anak juga dikemukakan oleh Dariyo (2005:114) yaitu “ditandai dengan adanya proses identifikasi.” Seorang anak mampu untuk mengmbangkan perilaku sosial secara positif yang ditandai dengan kemampuan untuk memiliki hubungan secara emosional, seorang anak akan dapat menyerap nilai-nilai, norma-norma dan etika dari budaya sosialnya terutama dari orangtuanya. Sebab dengan melakukan proses tersebut, sebenarnya seorang anak akan mengimitasi atau meniru sikap dan tindakan tokoh model guna melakukan proses identifikasi dengan orangtuanya. Keberhasilan melakukan proses identifikasi ditandai dengan kesadaran internal bahwa seseorang melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan nilai, etika atau norma sosial budaya, bukan karena dipaksa atau terpaksa, tetapi karena anak memang sadar apa yang dilakukan tersebut merupakan hal yang benar.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
1.      Pola asuh  yang diterapkan oleh 20 orangtua anak didik di Taman Kanak-kanak Teratai Kecamatan Rappocini Kota Makassar adalah pola asuh otoriter 8 orang, pola asuh autoritatif 6 orang, dan pola asuh permisif 1 orang, selebihnya menggunakan pola asuh penggabungan antara pola asuh otoriter dan pola asuh autoritatif. Diantara pola asuh yang dianggap dapat mengembangkan  perilaku social anak yaitu pola asuh autoritatif.
2.      Pola asuh orangtua dalam mengembangkan perilaku sosial anak.
a.       Pola asuh autoritatif besar pengaruhhnya terhadap perilaku sosial anak di TK dalam hal anak dapat bekerjasama, melakukan persaingan positif, menumbuhkan kemurahan hati, memiliki rasa penerimaan sosial, simpati, empati, tidak memiliki sikap ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mementingkan diri sendiri, dapat meniru perilaku orang lain tetapi anak memiliki perilaku kelekatan.
b.      Pola asuh otoriter berpengaruh terhadap perilaku sosial anak dalam hal anak dapat melakukan persaingan positif, memiliki kemurahan hati, berperilaku simpati dan berperilaku empati.
c.       Pola asuh permisif berpengaruh terhadap perilaku sosial anak dalam hal anak mampu bekerjasama, memiliki kemurahan hati, memiliki rasa penerimaan sosial, bersikap ramah, tidak memiliki sikap mementingkan diri sendiri, mampu meniru perilaku oranglain.

B.     Saran
Sehubungan dengan kesimpulan penelitian di atas maka diajukan saran sebagai berikut:
1.      Para orangtua hendaknya menyadari bahwa pola asuh yang meraka terapkan dalam berinteraksi dengan anak-anaknya mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap perilaku social anak.
2.      Para orangtua hendaknya menigkatkan pengetahuan dan kemampuan pengetahuan dan kemampuan dan berinteraksi dengan anak-anaknya agar perilaku social anak dapat berkembang dengan baik.
3.      Dalam berinteraksi dengananak-anaknya orangtua hendaknya tidak terpaku pada satu jenis pola asuh tertentu.Orangtua hendaknya menerapkan pola asuh yang berbeda sesuai tuntunan situasi dan kondisi pada saat interaksi berlangsung. Hal ini akan lebih menunjang perkembangan perilaku social anak baik dalam hal memahami pembicaraan orang lain maupun dalam hal mengemukakan pendapat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 2001. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Rineka Cipta

Dariyo, Agoes. 2005. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Hurlock, Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Prasetya, G Tembong. 2003. Pola Pengasuhan Ideal. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

Rahman, Hibana S. 2002. Konsep Dasar Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta: PGTKI Press.
Ratri. 2008. Apa saja yang diajarkan ke anak TK? http://bintangbangsaku.com (online) diakses tanggal 30 April 2009
Suhendi, Achmad, dkk. 2004. “Pola Asuh Tepat, Anak Selamat”, dalam Julie Erikania (Ed), Cara Bijak Membesarkan Anak, Nakita (hal. 49-51) Jakarya: PT. sarana Kinasih Satya Sejati.

Zulkifli. 2000. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya




0 komentar :

Post a Comment