Konsep Kufur Menurut Aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah

Monday 23 September 2013

Konsep Kufur Menurut Aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah


Para Mutakallimin selalu mengaitkan persoalan iman ini dengan kufur. Persoalan-persoalan kufur timbul dalam sejarah bermula dari tuduhan kufurnya perbuatan sahabat-sahabat yang menerima arbitrasi sebagai penyelesaian perang Siffin. Selanjutnya persoalan hukum kafir ini bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan al-Quran, tetapi juga orang yang melakukan dosa besar, yaitu murtakib al-kabair sehingga melahirkan perbedaan pendapat tentang murtakib al-kabair ini,[1] apakah masih tetap mukmin atau sudah kafir, yaitu keluar dari Islam? Bagaimanakah kedudukan mereka di dunia dan di akhirat? Apakah orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka atau adakah kemungkinan keluar dari neraka dan masuk syurga?

Sebelum menjawab persoalan-persoalan tersebut, perlu dinyatakan, apakah faktor yang termasuk dalam dosa besar. Ada hadis-hadis yang mengatakan bahwa dosa besar selain syirik ialah:
a. Zina
b. Sihir
c. Membunuh manusia tanpa sebab yang dibolehkan Allah
d. Memakan harta anak yatim piatu
e. Riba
f. Meninggalkan medan perang
g. Memfitnah perempuan yang baik-baik.[2]
Konsep kufur menurut aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, dan Maturidiah.
1.      Khawarij
Menurut mayoritas pemuka Khawarij, berpendapat bahawa semua dosa besar adalah kufur, orang yang melakukan dosa besar itu dihukum kafir dan kekal di dalam neraka.[3] Pendapat ini diutarakan oleh golongan cabang al-Muhakkimah yang paling awal dalam Khawarij.
Khawarij cabang Azariqah pula pergi lebih jauh ekstrim dari golongan pertama. Mereka menghukum sebagai syirik bagi orang yang melakukan dosa besar. Di dalam Islam syirik lebih besar dari kufur,[4] bahkan lebih jauh dari itu bagi golongan Azariqah menyatakan bahwa yang menjadi musyrik bukan hanya orang Islam yang melakukan dosa besar saja, tetapi juga semua orang Islam yang tidak sefahaman dengan mereka.
Berlainan dengan Khawarij cabang Ibadiah, mereka tidak sependapat dengan Azariqah, menurut mereka orang yang tidak masuk golongan mereka bukanlah musyrik dan bukanlah pula mukmin, paling berat ia boleh dikatakan kafir. Mereka membagi golongan kafir ini kepada dua golongan:
a. Kafir al-Ni’mah
Ialah orang yang tidak bersyukur terhadap nikmat-nikmat yang diberikan Tuhan.
b. Kafir al-Millah
Ialah orang yang keluar dari agama.
Bagi golongan Ibadiah, orang yang melakukan dosa besar termasuk dalam arti yang pertama, yaitu mereka masih tetap muwahhidun, sah syahadatnya,[5] boleh nikah dan waris mewarisi, bahkan yang terpenting haram darah mereka, artinya tidak diperangi.[6] Nampaknya pendapat Ibadiah ini lebih sederhana dari Azariqah. Bagi Azariqah, orang yang tidak masuk golongan mereka boleh diperangi, kerana bukan daerah Islam tetapi adalah dar al-harb atau dar al-kufr, darah mereka adalah halal. Yang dianggap dar al-Islam bagi mereka hanyalah orang yang termasuk wilayah atau golongan mereka saja.[7]
Menurut al-Bazdawi, konsep Khawarij mengatakan bahwa orang yang meninggal dunia dalam keadaan berdosa besar dan berdosa kecil yang tidak bertaubat akan kekal dalam neraka.[8]
2.      Murjiah
Bagi kaum Murjiah secara umumnya berpendapat bahawa soal kufur dan tidak kufur adalah lebih baik ditunda saja sampai ke Hari Pengadilan Tuhan di akhirat kelak,[9] sebab itu, kaum Murjiah tetap menganggap sahabat-sahabat yang terlibat dengan arbitrase adalah orang-orang yang dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar. Tetapi ada juga di kalangan cabang puak Murjiah yang mempersoalkan tentang soal kufur seperti Muhammad Ibn Karran. Menurutnya, orang-orang yang tidak mengucap dua kalimah syahadah, serta orang yang mendustakan dan mengingkari adanya Allah dengan perkataan bukan dengan perbuatan adalah kafir.[10]
Argumentasi Murjiah, ialah bahwa orang Islam yang melakukan dosa besar masih mengucap dua kalimah syahadat dan Nabi Muhammad adalah Rasul-Nya, orang seperti ini masih mukmin bukan kafir atau musyrik.[11] Dalam dunia ini ia tetap dianggap mukmin bukan kafir. Soal di akhirat diserahkan kepada keputusan Tuhan, kalau dosa besar diampunkan, ia segera masuk syurga, kalau tidak akan masuk neraka untuk waktu yang sesuai dengan dosa yang dilakukan dan kemudian masuk syurga.[12]
3.      Mu’tazilah
Pendapat tentang kufur berikutnya, ialah dari aliran Mu’tazilah. Pendapat Mu’tazilah tentang murtakib al-kabair ini, ialah sebagai bukan kafir dan bukan pula mukmin. Konsep Mu’tazilah disebut manzilah bain manzilataian atau posisi antara dua posisi.[13] Di akhirat kelak orang yang melakukan dosa besar itu tidak akan dimasukkan ke dalam syurga dan tidak pula dimasukkan ke dalam neraka yang dahsyat, seperti orang kafir, tetapi dimasukkan ke dalam neraka yang paling ringan.[14]
Di dalam dunia ini, orang yang melakukan dosa besar itu bukanlah mukmin dan bukan pula kafir, tetapi fasiq, tidak boleh disebut mukmin, walaupun dalam dirinya ada iman, kerana pengakuan dan ucapan dua kalimah syahadatnya, dan tidak pula disebut kufur, walaupun amal perbuatan dianggap dosa, kerana ia tidak mempengaruhi imannya.[15]
Timbul lagi satu pertanyaan, “Siapakah yang disebut kafir oleh aliran Mu’tazilah?” Menurut majoriti Mu’tazilah, orang yang tidak patuh terhadap yang wajib dan yang sunat disebut ma’asi. Ma’asi terbagi kepada dua, yaitu pertama, ma’asi kecil dan kedua ma’asi yang besar. Ma’asi yang besar dinamakan kufur. Ma’asi yang besar, yang membawa kepada kufur ada tiga, yaitu:
a. Seseorang yang menyamakan Allah dengan makhluk.
b. Seseorang yang menganggap Allah tidak adil atau zalim.
c.  Seseorang yang menolak eksistensi Nabi Muhammad yang menurut nas telah disepakati kaum muslimin.[16]
Kalau patuh dan taat terhadap yang wajib dan sunat disebut iman, ini bukan bererti kalau tidak melakukan yang wajib dan sunat langsung menjadi kufur. Menurut Hisyam al-Fathi, salah seorang pemuka Mu’tazilah, menyebut keadaan seperti itu dengan contoh tentang orang yang melaksanakan shalat dan berzakat. Menunaikan shalat dan zakat disebut realisasi iman, maka orang yang melakukan keduanya disebut mukmin, tetapi kalau shalat dan zakat tidak ditunaikan, orang tersebut tidak boleh pula disebut kafir. Untuk orang yang tidak melaksanakan yang wajib seperti shalat dan zakat serta lainnya diistilahkan sebagai fasiq saja.[17]
Sedangkan pendapat Ibad Ibn Sulaiman, dari kalangan pemuka Mu’tazilah juga, agak sederhana dari pendapat terdahulu, ia berpendapat iman adalah kepatuhan kepada yang wajib bukan sunat. Seseorang yang tidak beriman kepada Allah disebut kafir millah, iaitu kafir agama.[18]
Dari pendapat pemuka Mu’tazilah, dapat disimpulkan bahwa kufur adalah tidak mengucap dua kalimah syahadat dengan iringan keyakinan penuh; dan fusuq adalah perbuatan dosa besar, serta iman adalah pengakuan dengan hati yang dinyatakan dengan lisan dan melaksanakan perintah-perintah Allah serta menjauhi dosa besar.
4.      Asy’ariah
Menurut Asy’ariah seorang muslim yang berdosa besar jika meninggal dunia tanpa bertaubat, nasibnya terserah kepada ketentuan Tuhan, mungkin orang itu diampuni Allah kerana rahmat dan kasih sayang-Nya. Ada kemungkinan juga tidak akan diampuni Allah dosa-dosanya dan akan diazab sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baharu ia dimasukkan ke dalam syurga, kerana ia tidak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka.[19]
Ringkasan dari uraian di atas dapat disimpulkan menurut Asy’ariah orang-orang yang berdosa besar bukanlah kafir, dan tidak akan kekal dalam neraka. Orang demikian adalah mukmin dan akhirnya akan masuk syurga.
5.      Maturidiah
Selanjutnya bagi Maturidiah, orang yang berdosa kecil, dosa-dosa kecilnya akan dihapus oleh kebaikan shalat dan kewajiban-kewajiban lain yang dijalankan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah surah Hud, 11: 114:
ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ÇnûtsÛ Í$pk¨]9$# $Zÿs9ãur z`ÏiB È@øŠ©9$# 4 ¨bÎ) ÏM»uZ|¡ptø:$# tû÷ùÏdõムÏN$t«ÍhŠ¡¡9$# 4 y7Ï9ºsŒ 3tø.ÏŒ šúï̍Ï.º©%#Ï9

Terjemahnya:

Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya, perbuatan-perbuatan yang baik itu mengahapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang jahat. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat.[20]

Dengan demikian, dosa-dosa besar, apa lagi dosa-dosa kecil tidak membuat seseorang menjadi kafir dan tidak membuat seseorang keluar dari iman.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendapat Maturidiah mengenai hukum atau status orang yang berdosa besar sama dengan kumpulan Asy’ariah, yaitu bukan kafir tetapi tetap mukmin. Pendapat ini tentulah bertentangan dengan konsep Mu’tazilah dan Khawarij. Bagi Mu’tazilah bukan kafir dan bukan pula mukmin tetapi al-manzilah bain al-manzilataian dengan status fasiq, sedangkan bagi Khawarij, orang yang berdosa besar adalah kafir.



[1]Lihat,  Ibid., h. 7.
[2] Lihat, Harun Nsution, Islam Ditinjau dari Berbagai aspeknya, Jilid 11, (Jakarta: UI-Press, 1978), h. 32. Lihat juga, Musa Syahin al-Asyin, Fath al-Mu’in Syarh Sahih Muslim, Juz 11, al-Jami’ah, h. 18, 24 dan 34.
[3] Lihat, Al-Bazdawi, Op. cit., h. 132.
[4] Lihat, Harun Nasution, op. cit., h. 14
[5] Lihat, Muhammad Ibn Abd al-Karim al-Syahrastani,  al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 135
[6] Lihat, Harun Nasutioan, op. cit., h. 20.
[7] Lihat, Al-Baghdadi, op. cit., h. 62
[8] Lihat, Al-Bazdawi, op. cit., h. 132
[9] Lihat, Harun Nasution, op. cit., h. 22.
[10] Jalal Abd. Hamid Musa,  Nasy’ah al-Asy’ariyyah wa tatawwaruha, (Lebanon: Dar al-Kitab, 1975), h. 206
[11] Harun Nasutioan, Op. cit., h. 23.
[12] Ibid., h. 24
[13] Subhi,  Fi ‘ilm al-Kalam, (Iskandariyyah: Tsaqafah al-Jami’ah, 1982), h. 67.
[14] Al-Bazdawi, Op. cit., h. 131
[15] Subhi, Op. cit., h. 161
[16] Jalal Abd. Hamid Musa, Op. cit., h. 303
[17] Ibid., h. 304
[18] Ibid, h. 304
[19] Harun Nasutioan, op. cit., h. 29
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (al-Madinah al-Munawwarah: Mujamma’ Khadim al-Haramayn al-Syarifain al-Malik Fahd li Thiba’ah al-Mushhaf al-Syarif, 1411), h. 344

1 comment :